Skip to main content

Inilah Daftar Kekejaman Raja-raja di Nusantara


SEJARAH kerajaan di Nusantara tidak hanya berisi catatan soal kebesaran dan jatuh bangunnya raja-raja mereka. Tidak semua raja-raja tersebut mampu berlaku adil dan bijaksana. Kekuasaan absolut menjadi ajang mempertunjukkan kelaliman. Berikut ini raja-raja dan kekejamannya yang pernah tercatat dalam sejarah Nusantara.

Kertajaya Memaksa Brahmana untuk Menyembahnya

Raja Kediri Kertajaya alias Dangdang Gendis (memerintah 1194-1222) menyatakan diri sebagai dewa dan memerintahkan rakyat dan para pemuka agama menyembahnya. Kelakuannya tak seperti leluhurnya, Airlangga, pendiri kerajaan Kahuripan, yang terkenal karena toleransi beragama antara Budha dan Hindu. Tak terima kelaliman Kertajaya, banyak kaum brahmana melarikan diri.

“Para brahmana yang berpengaruh lari ke timur untuk beraliansi dengan Ken Arok, perebut tahta dari Janggala,” tulis Ann R. Kinney dalam Worshipping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java. Perang besar terjadi pada 1222, pasukan Kertajaya kalah. Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singasari sembari meneruskan tradisi toleransi beragama Kediri. 

Kertanegara Mengiris Telinga Duta Mongol

Tahun 1289, datanglah rombongan utusan Kubilai Khan dari Tiongkok ke tanah Jawa untuk menemui raja Singasari, Kertanegara (memerintah 1268-1292). Utusan itu meminta upeti dari Jawa sebagai bukti tunduk. Salah satu dari mereka, Meng Khi, menghadap raja. Sebagai jawabannya kepada Kubilai Khan, Kertanegara memotong telinga dan hidung Meng Khi dan mengusir rombongan itu pulang. Tak terima, pada 1292 Kubilai Khan mengirim ekspedisi ke Jawa dengan seribu kapal dan 20.000 prajurit untuk menghukum Singasari. Namun Kertanegara keburu dibunuh oleh bawahannya dari Kediri, Jayakatwang.

La Pateddungi Memperkosa Rakyatnya

Kerajaan Wajo adalah kerajaan orang-orang Bugis yang berdiri pada pertengahan abad ke-15 di Sulawesi Selatan. Tiga kelompok besar di Wajo, Battempola, Talo’tenreng, dan Tua’ mengadakan pertemuan untuk memilih raja mereka, yang kemudian diberi gelar Batara Wajo. Batara Wajo I (La Tenribali) dan Batara Wajo II (La Mataesso) memerintah kerajaan dengan baik, tetapi tidak dengan Batara Wajo III, La Pateddungi (1466-1469). La Pateddungi terkenal suka melakukan perbuatan biadab. Dia senang berkeliling kerajaan dan mengambil istri dan anak perempuan rakyatnya untuk diperkosa.

“La Pateddungi to Samallangik, dilukiskan sebagai raja yang kejam, gemar memperkosa istri dan anak gadis rakyatnya, tidak mau mendengar nasihat, dan oleh karena itu dia dipecat, diusir keluar Wajo lalu kemudian dibunuh,” tulis Edi Sedyawati dalam Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing.

Iskandar Muda dan Hukuman Kerasnya

Augustin de Beaulieu, pelaut Prancis yang sempat menetap di Aceh pada masa Iskandar Muda (memerintah 1607-1636), mengungkapkan kekejaman Sultan Iskandar Muda.

“Sang penguasa ini memang amat kejam karena saya berani bilang bahwa sejak saya berada di sana tak sehari pun lewat tanpa dia membunuh seseorang dan terkadang beberapa orang, dan dia tidak memberitahu siapa pun mengenai rencananya dan juga tidak minta saran orang lain,” kata Augustin de Beaulieu, dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX karya Bernard Dorleans.

Sultan Iskandar Muda menerapkan hukuman yang keras kepada para penjahat di Aceh untuk menegakkan wibawa dan kuasa raja yang di masa-masa sebelumnya kerap dikendalikan oleh kaum uleebalang (bangsawan). Mulai dari pemotongan anggota tubuh seperti telinga, bibir, hidung, kaki dan tangan; diinjak gajah sampai mati; menjepit dengan dua batang kayu yang dibelah; menumbuk kepala orang, dan lain-lain.

Beberapa dokumen dari sumber-sumber asing seperti yang tercantum diKerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard bahkan menyebutkan Iskandar Muda pernah membunuh bayi dengan cara menghantamnya ke dinding karena bayi itu tak berhenti menangis. Dan bagaimana dia senang mandi darah para terhukum mati untuk melindungi diri dari penyakit.

Meski begitu, watak kejamnya ini diimbangi dengan sistem pemerintahannya yang efektif. Aceh menjadi kekuatan dominan di Sumatera dan warisan kekuatan militer besar yang dihimpunnya menjadi penantang utama laju dominasi Portugis di Semenanjung Malaya selama abad ke-17.

Sultan Agung Memenggal Prajuritnya

Raja Mataram, Sultan Agung (memerintah 1613-1645) memutuskan untuk menyerang Batavia pada 1628 sebagai bagian dari rencana politik ekspansionisnya di Jawa. Pasukan Jawa berkali-kali menyerang benteng dan berulang kali juga mereka gagal. Selama 30 hari ribuan prajurit Jawa juga mencoba membendung sungai Ciliwung untuk membuat pasukan Belanda kehausan, usaha ini juga gagal. Dalam sebuah pertempuran besar di dekat benteng, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Mataram.

Pasukan Mataram akhirnya dipukul mundur, namun hanya setelah Sultan Agung mengirimkan sepasukan algojonya untuk memenggal kepala kedua panglima pemimpin penyerbuan, Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja, beserta prajuritnya karena telah gagal merebut Batavia.

“VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Serangan kedua terjadi pada 1629, kali ini dipimpin Dipati Ukur. Sekali lagi, pasukan Mataram dipukul mundur. Belajar dari pengalaman kegagalan panglima sebelumnya, Dipati Ukur akhirnya memutuskan untuk memberontak karena tahu hukuman penggal dari sang sultan tengah menantinya. 

Amangkurat I Membantai Ulama

Tahta Mataram kembali mengalirkan darah pada masa Amangkurat I (1646-1676). Dia memindahkan pusat pemerintahan Mataram ke Plered dari Karta. Dia kerap terlibat perselisihan tahta, dimulai dengan saudaranya sendiri, Pangeran Alit, yang akhirnya dia bunuh untuk memuluskan jalan menaiki tahta Mataram. Namun tindakannya yang paling kejam adalah ketika dia membantai kaum ulama karena dianggap berkonspirasi dengan mendiang saudaranya untuk merebut tahta.

Dia membuat daftar para ulama beserta keluarga mereka untuk dikumpulkan, lalu dibantai di alun-alun Plered. Pembantaian ini terjadi tahun 1647. “Dan dalam waktu setengah jam, tidak kurang dari lima sampai enam ribu orang dibantai. Van Goens (utusan VOC untuk Mataram) yang waktu itu berada di Plered, melihat dengan mata sendiri mayat-mayat yang bergeletakan di jalanan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II.

Masa pemerintahan Amangkurat I memang penuh huru-hara. Pada 1677, Plered diduduki oleh pasukan Trunojoyo dari Madura yang memberontak, yang akhirnya memberikan celah masuk bagi VOC ke dalam politik istana Mataram. Berkat VOC, pemberontakan berhasil ditumpas namun kedaulatan Mataram kian lama jadi kian terkikis.


*sumber artikel : Historia.id ( Rahadian Rundjan )

Comments

Popular posts from this blog

4 tokoh komunis indonesia yang terlahir dari keluarga religius

Akhir akhir ini isu komunis begitu sensitif di negara kita. Gerakan komunis yang direpresentatifkan melalui Partai Komunis Indonesia ( PKI ) sebagai organisasi terlarang, diisukan bangkit kembali setelah kematiannya hampir setengah abad yang lalu. Momok mengerikan tentang kisah kekejaman PKI melalui rangkaian cerita sejarah terbitan orde baru, seakan membekas hingga generasi saat ini. Rezim orde baru dirasa sukses membuat diaroma kekejaman PKI, mengemasnya dalam berbagai cerita mencekam hingga menfilmkannya sebagai film tontonan wajib tuk semua kalangan setiap tanggal 30 september, selama 32 tahun rezim orde baru berkuasa. Seorang komunis selalu diidentikan dengan seorang atheis. Ateis atau ateisme dan komunis atau komunisme seakan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ateisme tidak sama dengan komunisme. Ateisme adalah ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan. Dalam hal ini Tuhan personal, Sang Maha Pencipta, dan Maha Berkehendak. Sementara komunisme adalah

Ini dia Sederet nama Mantan Petinggi Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) dilingkungan kekuasaan birokrasi

Aceh pernah mengalami konflik bersenjata selama berpuluh puluh tahun. Adanya kekecewaan terhadap kekuasaan orde baru di Jakarta, menjadi penyebab sebagian masyarakat sipil aceh berjuang mengangkat senjata untuk melawan. Kecendrungan sistem sentralistik orde baru, serta pembagian Sumber daya alam yang tak adil kepada rakyat Aceh, mendorong beberapa tokoh untuk berjuang melepaskan aceh dari bagian NKRI.  foto : wikipedia Adalah Hasan Tiro, tokoh yang disegani rakyat Aceh ini, kemudian membentuk Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) pada tahun 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Kini konflik Aceh telah usai. Peristiwa Tsunami besar diakhir 2004, memaksa kedua belah pihak antara pemerintah RI dan GAM untuk bertemu, menyepakati perjanjian damai. Perjanjian damai Helsinki pada Agustus 2005, menjadi tonggak sejarah baru masa depan Aceh. Perjanjian damai yang ditandangi karena tekanan Internasional ini, memberi dampak positif terhadap Aceh, salah satunya Aceh memiliki kewenanga